(oleh: Aqmarina Firda)
Membuat film dari buku bukanlah hal yang baru lagi. Beberapa contohnya seperti film Harry Potter yang sudah sangat terkenal, dan Laskar Pelangi. Proses adaptasi dari buku ke film atau televisi bukanlah suatu proses yang mudah. Namun dari dulu hingga sekarang, banyak sekali film yang diciptakan merupakan hasil adaptasi dari naskah drama, certa pendek, atau novel. Naskah untuk film memang harus diciptakan secara khusus karena film memiliki karakter yang berbeda dari karya sastra.
Dalam proses adaptasi dari karya sastra ke film, ada beberapa perubahan yang terjadi. Pertama, hilangnya kebebasan berimajinasi para pembaca karya sastra dalam menikmati karya tulis tersebut. Pada saat membaca sebuah novel atau cerpen, kita sebagai pembaca secara aktif membayangkan apa yang terjadi pada tokoh dalam kisah yang dibacanya. Imajinasi kita akan membuat kisah yang dibacanya tersebut seolah-olah benar-benar merupakan sesuatu yang hidup. Hal ini akan lain ketika kita sudah menonton filmnya. Karena kita sudah dihadapkan pada gambar, maka sudah tidak ada ruang bagi imajinasi kita untuk berkhayal mengenai cerita di novel tersebut.
Selain itu, karya tulis memiliki kemampuan untuk menceritakan pikiran tokoh-tokohnya. Dalam film, konflik batin yang dialami tokohnya tersebut sering dihilangkan karena kesulitan penulis skenario maupun sutradara menuangkan ungkapan hati para tokoh tersebut ke bahasa film dengan tidak bertele-tele.
Namun bagi sebagian orang sebuah film yang diadaptasi dari karya sastra seperti novel atau cerpen justru lebih menarik. Alasannya dengan memvisualisasikan adegan dalam cerita di buku itu, ceritanya menjadi lebih seru atau bahkan lebih menarik daripada bukunya. Jadi, apakah kalian termasuk orang yang lebih senang jika membaca cerita lewat buku atau lebih senang menonton filmnya saja?
Dalam proses adaptasi dari karya sastra ke film, ada beberapa perubahan yang terjadi. Pertama, hilangnya kebebasan berimajinasi para pembaca karya sastra dalam menikmati karya tulis tersebut. Pada saat membaca sebuah novel atau cerpen, kita sebagai pembaca secara aktif membayangkan apa yang terjadi pada tokoh dalam kisah yang dibacanya. Imajinasi kita akan membuat kisah yang dibacanya tersebut seolah-olah benar-benar merupakan sesuatu yang hidup. Hal ini akan lain ketika kita sudah menonton filmnya. Karena kita sudah dihadapkan pada gambar, maka sudah tidak ada ruang bagi imajinasi kita untuk berkhayal mengenai cerita di novel tersebut.
Selain itu, karya tulis memiliki kemampuan untuk menceritakan pikiran tokoh-tokohnya. Dalam film, konflik batin yang dialami tokohnya tersebut sering dihilangkan karena kesulitan penulis skenario maupun sutradara menuangkan ungkapan hati para tokoh tersebut ke bahasa film dengan tidak bertele-tele.
Namun bagi sebagian orang sebuah film yang diadaptasi dari karya sastra seperti novel atau cerpen justru lebih menarik. Alasannya dengan memvisualisasikan adegan dalam cerita di buku itu, ceritanya menjadi lebih seru atau bahkan lebih menarik daripada bukunya. Jadi, apakah kalian termasuk orang yang lebih senang jika membaca cerita lewat buku atau lebih senang menonton filmnya saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar